Di bawah ini kutipan dari sebagian Bab I Buku “Penafsiran Kontrak Komersial: antara Teks dan Konteks” seputar pembahasan antara penafsiran kontrak dan penafsiran hukum.

Menurut Hans Kelsen, perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak dalam suatu transaksi merupakan norma hukum, sekalipun kesepakatan yang dituangkan di dalam perjanjian timbul dihasilkan oleh individu. Status perjanjian sebagai norma hukum ini, yang terkategori sebagai norma individual (individual norm), mengingat norma hukum umum (general norm) telah mendelegasikan kewenangan pembuatan perjanjian kepada individu-individu dan tatanan hukum (legal order) telah menentukan sanksi bagi pihak yang melanggar isi perjanjian.[1] Dengan jalan berpikir seperti ini, Kelsen menganggap ada persamaan antara pihak-pihak dalam suatu perjanjian dengan legislator di dalam pembuatan undang-undang dimana keduanya sama-sama sebegai penerbit norma yang memperoleh pendelegasian dari tatanan hukum.[2]

Michael Kirby berpendapat bahwa penafsiran undang-undang dan perjanjian memiliki kesamaan dengan pertimbangan sebagai berikut[3]: (i) kedua dokumen berfungsi sebagai kontrol atas tindakan di masa mendatng; (ii) walaupun undang-undang ditetapkan oleh parlemen, problem penafsiran tidak dapat diselesaikan secara memuaskan dengan penekanan pada kejelasan makna yang mengisolasikan kata dari konteksnya. Pendekatan modern memandang konteks sebagai tahap pertama untuk   proses penafsiran, bukan hanya pada saat timbul ambiguitas pada kata; (iii) penafsiran undang-undang dan perjanjian tidak dilakukan dengan cara menemukan kehendak subjektif dari pihak pembuat, sehingga dalam kasus dokumen kontrak tertulis, kehendak yang tidak dikomunikasikan tidak dianggap mengikat pihak lainnya; Pada titik ini, pendekatan penafsiran dilakukan secara objektif dan bukan murni subjektif; (iv) titik keberangkatan penafsiran (starting point) adalah dokumen tertulis dan hal-hal relevan yang menjadi bagian daripadanya dimana teks diperiksa untuk menentukan arti dari kata yang digunakan. Tujuannya bukan untuk memastikan arti dengan melihat ke historis dari penggunaan kata tersebut oleh pihak pembuat benar-benar dimaksudkan sebagaimana yang dikatakan atau ada maksud lainnya.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Mark L Movsesian yang menegaskan bahwa prinsip-prinsip hukum perjanjian tidak mengharuskan kontrak dibuat secara tertulis, namun kontrak tertulis akan menjadi dokumen penting dalam penentuan kehendak para pihak yang membuatnya. [4] Sebaliknya, undang-undang tidak dapat dipisahkan dari keberadaannya yang tertulis dan terlepas dari pembuatnya (legislator) memahami atau tidak isi undang-undang, mengingat:  “A statute is authoritative, not because the legislators understood it, but because the legislators enacted it”. [5] Dilihat dari sisi akibat penetapan undang-undang, legislator tidak dibebani resiko dan pertanggungjawaban apabila suatu undang-undang ditetapkan dengan mengandung cacat hukum, sementara para pihak dalam suatu perjanjian akan menanggung resiko atas perjanjian yang cacat hukum atau luput memasukan klausul yang penting untuk pelaksanaan kontrak karena, misalnya perjanjian dibuat terburu-buru.[6]

Dengan mempertimbangkan perdapat yang terakhir ini, maka penafsiran perjanjian merupakan wilayah kajian yang spesifik dalam penafsiran hukum dan tindak mungkin menyatukan secara teoretis antara prinsip-prinsip penafsiran perjanjian dengan penafsiran undang-undang keduanya memiliki perbedaan yang fundamental. Dalam wacana hukum perjanjian, perdebatan teoretis para ahli mengenai penafsiran perjanjian melapangkan jalannya sendiri, terpisah dari perdebatan penafsiran undang-undang.

[1] Hans Kelsen, the Pure Theory of Law, University of California Press, 1967, h. 148

[2] Julius Stone, Legal System and Lawyers’ Reasonings, Stanford University Press, 1964, h. 114

[3] Michael Kirby, Towards a Grand Theory of. Interpretation: The Case of Statutes and Contracts, naskah pidato disampaikan di Cambridge University 13 Juli 2002, diambil dari versi online melalui http://www.hcourt.gov.au/assets/publications/ speeches / former-justices/ kirbyj/ kirbyj_ statute.htm

[4] Movsesian, Mark L., “Are Statutes Really “Legislative Bargains”? The Failure of the Contract Analogy in Statutory Interpretation” (1998). Faculty Publications. Paper 111 h. 1181, dapat diakses melalui http://scholarship.law.stjohns.edu/faculty_publications/111

[5] Ibid h. 1182

[6] Ibid h. 1184